Jejak Langkah

Uneg-uneg

advertisement

Cerpen: Berlari














Berlari
Oleh: gunawan

Menulis kata ini mengingatkanku pada seluruh aktifitas yang berhubungan dengan lari. Aku jadi ingat saat kecil dulu. Saat dimana aku memandang hidup begitu indah. Saat dimana beban pikiran tidak begitu berarti. Saat dimana duniaku adalah dunia bermain dan belajar. Saat dimana kebebasan kuraih sebagai anak kampung dan sederhana layaknya. Tertawa, berteriak, menangis, bermain dan berlari.

#1
Masih kuingat pengalaman-pengalaman lucu yang kudapat dengan berlari. Aku ingat ketika aku mencari ikan bersama teman kecilku di kali dekat rumah kami. Kali yang waktu itu masih jernih. Airnya setinggi satu jengkal kaki orang dewasa. Waktu itu, masih banyak berbagai jenis ikan hidup disana. Betok, sapu-sapu, gabus, cere, belut, moa (sejenis lindung yang bertelinga) bahkan biawak pernah juga ditemui di kali itu. Pagi itu aku mencari ikan cere yang banyak berkumpul digorong-gorong. Hanya dengan menggunakan tanganku yang kecil aku bisa mendapatkan banyak ikan. Bagaimana kalau dengan jaring? Pasti lebih banyak lagi pikirku. Kutengadahkan tanganku ke dalam gorong yang besar. Ikan-ikan cere yang gendut-gendut dan dewasa terperangkap ditanganku. Perasaanku begitu riang mendapatkannya. Kukumpulkan hasil tangkapku ke dalam plastik besar. Akhirnya pagi itu kami mendapatkan banyak ikan. Setelah puas bermain-main air dikali dan hasil tangkapan yang cukup. Kami putuskan untuk pulang kerumah.

Jalan pulang menuju rumah kami saat itu melewati rumah-rumah gedongan yang salah satu rumahnya memiliki seekor anjing besar dan galak. pemiliknya adalah mas Andi tetangga kami yang baik Sebenarnya kami enggan melewati jalan itu. Tapi karena malas melewati jalan lain dengan perasaan gentar dan was-was kami lewati juga. Awalnya kami coba untuk berjalan tenang dan tidak menimbulkan rasa curiga. Pagi itu si anjing besar tidak tampak wujudnya. Dan suaranya pun hening. Tapi begitu melewati rumah Mas Andi sejauh dua meter sang anjing keluar dari rumah. Menggonggong begitu keras. Tingginya hampir sepinggang kami. Kami panik. Temanku memintaku berlari. “Wan lari Wan…lari!”. Tanpa pikir panjang lagi. Kami lari sekencang-kencangnya sambil menenteng sekantong air berisi ikan cere. Pada saat yang sama sang anjing besar mengejar kami dari belakang yang hanya berjarak satu meter. Jantungku berdegup keras. Keringat dingin keluar. Aku sangat takut digigit anjing. Apalagi kalau sang anjing terkena rabies. bisa jadi gila pikirku kala itu. selang beberapa detik kami kejaran-kejaran dan nyaris moncongnya mendekati pantatku. Mas Andi, sang tuan rumah memanggil anjingnya. Seperti disihir anjing itu berhenti dan berbalik badan. Sungguh hebat! Ditanjakan pertigaan ujung jalan itu. kami jatuh lemas. Temanku senyum-senyum melihatku dan akupun tertawa dengan kejadian ini sambil melihat kantong ikan cere yang airnya bergoyang-goyang. Slamet…slamet…(makan nasi sama garem)!

#2
Aku jadi ingat saat duduk di sekolah dasar dulu, SDN pulo 08 petang di Selatan Jakarta. Pak Edi, Guru olahragaku begitu keranjingan dengan aktifitas berlari. Baginya berlari adalah adalah permulaan dari sebuah pemanasan tubuh. Dimana otot-otot bergerak elastis. Oleh karena itu setiap jam olahraga dia memulai dengan menyuruh kami berlari memutari sekolah. Saat ujian, dia juga mengambil nilai dari beberapa cabang atletik. Salah satunya adalah lari marathon. Untuk pengalaman ini aku pernah juara kedua. Ini adalah hal yang tidak disangka-sangka. Aku sadar betul dengan kemampuan tubuhku yang kurus dan kecil. Fisik teman sekolahku, Toni, lebih besar dan kuat dalam berlari. Makanya dia selalu juara satu dalam ujian lari. Sementara aku cuma masuk dalam sepuluh besar. Waktu itu aku sempat melewatinya berlari bahkan berhasil meninggalkan lawan-lawan tangguhku. Hingga menjelang finish Toni sadar bahwa dia telah meremehkanku hingga berhasil melewatinya. Padahal aku bukanlah lawan tandingnya yang tangguh. Akhirnya menjelang garis finish yang berjarah lima meter dia berhasil mendahuluiku dan merebut kembali gelar juara satu. Dan aku cukup puas dengan juara dua.

Setiap ada kesempatan lomba lari yang sekupnya se-jakarta. Sekolah kami selalu diikuti sertakan. Pak edi, mengutus beberapa anak laki-laki dan perempuan untuk ikut lomba lari. Salah satunya adalah aku. Aku ingat waktu itu kami berlomba di kecamatan Jakarta selatan. Ratusan anak dari berbagai sekolah sejakarta selatan berkumpul di hari minggu pagi itu. tetanggaku yang perempuan, ela, anak Pak RT yang juga teman sekolahku juga diikutsertakan. Bahkan diunggulkan. Karena dalam urusan lari dia selalu juara untuk kelompok putri. Fisiknya memang kuat dalam berlari marathon. Napasnya panjang, ditambah perawakannya yang kecil. Membuat gerak tubuhnya menjadi lincah. Baru kali ini aku mengikuti pertandingan yang skupnya besar. Bayangkan, jalan raya pagi itu dipenuhi banyak pelari. Ketika priwit dibunyikan panitia. Seluruh pelari tumpah ruah berlari sekencang-kencangnya mengejar garis finish. Aku pun juga, untungnya tidak terinjak-injak. Sambil memandang perilaku para pelari. Perasaanku bercampur aduk. Hasilnya pagi itu, aku sampai juga di garis finish meski kalah. Dan temanku, Ela, dia masuk juara dalam tiga besar. Sungguh hebat!

#3
Saat perayaan Hari Kemerdekaan tiba, biasanya aku ikut serta berbagai lomba. lomba ambil batu, balap karung, makan krupuk, ambil uang logam dijeruk yang dilumuri arang, lomba bawa kelereng bahkan joget dengan jeruk berpasangan. Biasanya kala itu, aku dan adik serta kakakku selalu mendapatkan juara. Kami selalu membawa pulang hadiah bersampul coklat yang kami dapatkan. Meski cuma berisi beberapa alat tulis, bahkan adikku mendapatkan sabun mandi dan pensil rasanya kami senang sekali. Kalau dipikir sekarang ini, lucu juga ya mengingat hadiah-hadiah itu. bahkan hal ini terjadi hampir semua diseluruh negeri. Lomba lari ambil batu adalah andalanku. Setiap tahun aku menang lomba ini. Tapi aku ingat tahun itu, aku kalah.

Final lari ambil batu begitu seru. Ditonton banyak warga. Keluarga para peserta ikut hadir sebagai dukungan moral. Tapi aku tidak, ibuku sibuk memasak. mengolah makanan untuk dijual diwarung nasi kami. Awal start aku memimpin. Aku berlari sekencang-kencangnya menuju tumpukan batu didepan mataku yang berjarak 10 meter. Satu demi satu berhasil aku pindahkan. Bobot batu koral itu lumayan berat menurut ukuran tubuhku yang kecil. Aku menaksirnya sekitar dua ons. Karena kelelahan. Kecepatanku mulai menurun. Tak disangka aku disusul oleh tegy temanku kecilku yang menjadi lawan tandingku kala itu. Tegy usianya lebih muda dari aku, rumahnya tepat didepan rumahku. Meski terlihat lebih berkemampuan secara materi. Keluarganya cukup baik. Jadi kala itu hampir tidak pernah ada masalah dalam kehidupan kami sekeluarga.

Tegi menyusul. Dia tepat disampingku. Pada jalur masing-masing kami berlomba mengambil batu pada saat yang bersamaan. Keadaan makin riuh. Sorak sorai warga begitu riang mendukung Tegy dan aku. Keringat mengucur deras. Jantung keras berdegup. Tubuh menjadi lemas. Aku dan Tegy susul menyusul. Bahkan seringkali kami berada pada posisi yang sama didepan. Ketika menunduk mengambil batu. Terasa kali ini begitu berat. Tenagaku habis. Tapi tekad terus mengalir. Apalagi lawanku hanya tegy. Aku meremehkannya. Pada akhirnya, ketika mengambil batu terakhir. Beratnya makin tak terkira. Tenagaku benar-benar habis. Akhirnya tegy mencapai garis finish beberapa centi lebih dulu dariku. Kembali gemuruh sorak warga membahana. Aku kalah. Masuk juara kedua. Tak disangka, sungguh hebat dia! Aku tersenyum.

#4
saat mengalami masa-masa kebandelan. berlari adalah jalan keluar terakhir yang paling jitu. Kala itu usia kami remaja. Penuh dengan uji coba. Sambil bergaya belajar menghisap rokok ketengan. Temanku dengan tenang mencoret tembok dengan piloks yang kami beli. Menulis jalan rumah kami malam itu: Nipah. Apa maksudnya? Tidak tahu, yang penting merasa eksis. Tak disangka dari kegelapan muncul bapak satpam berteriak. Kami panik dan mencoba lari karena merasa bersalah. Dan memang itu perbuatan yang salah. Mencoret-coret rumah orang lain tanpa ijin adalah pelanggaran hukum. Lucunya, ada temanku yang gendut bernama geboy, kakinya terperosok kedalam got kecil. Sendalnya menyangkut hingga tidak bisa ditarik. Betis kakinya lecet hingga berdarah. Kucoba tarik tangannya tapi tidak terlepas juga kakinya yang menyangkut itu. Karena si bapak satpam yang marah itu semakin mendekat. Akhirnya geboy lepaskan sendalnya. Kami pun lari terbirit-birit tunggang langgang. Dan geboy berlari sekuat tenaga beralas kaki sebelah dengan betis kaki kanannya yang berdarah. Kami selamat. Bapak Satpam itu terlalu tua mengejar kami yang gesit. Sembari tersengal-sengal, kami cekikikan dengan kejadian ini. Konyol sekali. Dan resikonya, kaki geboy berdarah, sandal kanan lenyap. Buat apa sandal kiri kalau kanannya tidak ada. Tidak berguna. Geboy hanya mesem-mesem tersenyum kecut sambil meringis menahan rasa sakit. Beruntung saat itu kami tidak tertangkap.

***
Hingga kini aku masih sering berlari. Meski tidak sesering dan segesit dahulu. Aku masih sering main bola bersama teman-temanku. Tapi bukan teman kecilku dulu. Aku sudah berpindah rumah karena terkena gusuran. 20 tahun lebih aku tinggal dan hidup disana. Segala kenangan manis bersama teman kecilku telah banyak kami lewati. Akhirnya keluargaku tergusur karena ditanah itu akan dibangun kantor wali kota Jakarta selatan yang baru. Saat kemarin aku lewati daerah itu, gedungnya sudah tegak berdiri megah. Penuh dengan lampu-lampu taman.

Kala hujan pun aku berlari. Anehnya saat ini, kalau sedikit saja terkena hujan aku jadi mudah sakit. Mungkin air hujan sekarang lebih kotor karena asap industri dan polusi udara yang semakin kotor. Atau karena memang daya tahan tubuhku saja yang semakin melemah. Usia memang tidak bisa dibohongi.

Kalau dirasa-rasa hidup saat ini terasa semakin berat. Mungkin dengan kondisi Negara dari berbagai krisis yang terus terjadi. Tanggung jawabku kepada ibu semakin besar. Ibuku sudah tua. Tapi ia terus bekerja. Tidak ada kamus pensiun dalam keluarga kami. Kadangkala saat masalah begitu menghimpit. Ingin rasanya aku lari dari kenyataan. Pergi meninggalkan masalah. Tapi mau berlari dan pergi kemana? Tidak tahu. Kuputuskan berlari ketemanku. Sedikit melegakan. Siapa tahu ada jalan keluar. Dan ketika ada harapan dengan tenaga yang masih terkumpul. Aku mencoba berlari sekuat tenaga mengejarnya. Mengejar mimpi hidup. Sambil berjalan cepat menuju kantor, terdengar lagu “where the street have no name(live); pride (in the name of love) (live); Sunday bloody Sunday (live)” dari U2 ditelinga yang berasal dari earphone mp4 playerku. Hentakan drum yang keras, petikan bass dan kocokan gitar yang cepat. Beat yang cepat dan bersemangat dari lagu ini ditambah lirik yang indah dinyanyikan Bono sang vokalis yang mengagitasi massa membuat lagu ini terdengar asik ditelinga. Volume mp4 playerku menunjukkan angka 28. ukuran volume yang cukup keras. Hingga membuat suara diluar earphone tidak terdengar lagi. Mendengar lagu ini dipagi hari saat berjalan kaki menuju kantor semakin membuatku bersemangat. Suaranya memenuhi rongga pendengaranku. Jantungku berdegup keras. Darah dipompa. Seperti ada semangat yang muncul bercampur marah. Marah atas kesewenangan manusia dinegeri yang miskin ini. Dan aku tidak peduli soal itu lagi. ingin rasanya berlari sekuat tenaga menggapai mimpiku sendiri. Langkahku semakin cepat menuju kantor yang berjarak satu kilometer dari rumah dengan keringat yang semakin mengucur.

Warung Buncit, dipenghujung tahun 2006.
Terima kasih buat teman-teman di paramadina yang sudah mengisi hari-hari. sampai berjumpa lagi.
0 Komentar untuk "Cerpen: Berlari"
Back To Top