Jejak Langkah

Uneg-uneg

advertisement

Cerpen: Pedestrian













Pedestrian
Oleh: Gunawan


Menurut teman kuliahku dulu yang bernama Pitra, pedestrian artinya pejalan kaki kota. Setelah kulihat akhir-akhir ini, menurut kamus bahasa, pedestrian adalah berupa kata benda yang artinya pejalan kaki. Aku lebih setuju dengan definisi ini bahwa pedestrian hanya berarti pejalan kaki saja tanpa perlu menambahkan dengan embel-embel keterangan tempat. Dikota, didesa, dikampung-kampung, digunung, dipesisir pantai, dipedalaman, dilembah-lembah, dihutan belantara, dimanapun dia tetaplah seorang pedestrian tanpa perlu lagi mengkotak-kotakan tempatnya.

Karena pedestrian sejati tidak akan memilih-memilih tempat dimana bumi sebagai pijakannya. Dimana pun ada jalan walau hanya jalan setapak akan dia lewati. Pun kalau terpaksa, ia akan membuat atau membuka jalan baru demi tujuannya, seperti yang dilakukan para pendaki gunung atau penjelajah hutan belantara. Karena bagiku seorang pedestrian adalah “Seorang Pembuka Harapan”. Seperti pepatah bijak dari negeri Cina tentang “Harapan”:

Harapan itu seperti jalan setapak yang ada dipedesaan,
dahulu jalan itu belum ada.
Tetapi ketika orang sering melewatinya jalan pun muncul...

***

Aku jadi ingat tentang masa kecilku, waktu usiaku remaja saat duduk dibangku SMP. Dilingkungan rumahku, disebuah jalan umum. tempat biasa bermain bersama teman-teman kecil. Ada seorang asing yang sering kami lihat melewati jalan itu. laki-laki, berperawakan gemuk, dengan perut sedikit tambun, tidak terlalu tinggi untuk ukuran orang dewasa, berambut gondrong dengan panjang sepinggang. Mengenakan kaos, bercelana pendek, bersandal jepit dan berkulit sawo matang.

Kami tidak pernah tahu ataupun bertanya pada orang asing itu siapa namanya, berapa umurnya, asal usulnya, dan dengan tujuan apa. Kami yang kecil saat itu tidak berani. Kami hanya memperhatikan saja. Toh dia juga tidak mengganggu. Dia hanya menumpang lewat saja. Istimewanya, dia selalu menjadi perhatianku sejak kami sering melihatnya melewati jalan dilingkungan rumah dengan berjalan kaki tanpa bekal apapun dalam jalan dan waktu yang berbeda. Tidak pernah aku melihatnya menggunakan kendaraan sekalipun. bahkan meski hanya menumpang berbonceng sepeda ataupun motor kepada temannya. Tidak pernah sekalipun kulihat. Yang kulihat dia hanya berjalan kaki. Sendirian. Berjalan konstan tanpa tergesa-gesa apalagi tampak berlari.

Sejak itu, laki-laki misterius itu kami juluki sebagai orang gila atau orang yang tidak waras. Teman kecilku menghakimi begitu saja laki-laki misterius itu sebagai orang gila. Aku tanya,”kenapa?”. “Tidak tahu, habis dia seperti orang aneh”, jawabnya enteng. Kalau dipikir saat ini, tega-teganya teman kecilku dulu menghakimi laki-laki misterius itu sebagai “orang gila”. Padahal tidak pernah sekalipun dia berkomunikasi pada laki-laki misterius itu hingga dia bisa menilai apa layak laki-laki misterius itu disebut “gila”.



Maklum kami masih kecil saat itu, tidak berani macam-macam pada orang dewasa yang asing apalagi perilakunya dianggap aneh. Aku sendiri tidak begitu merisaukan soal keberadaannya. Toh juga dijalan umum itu pernah kulihat beberapa perilaku aneh orang-orang gila. Contohnya, ada laki-laki yang tingkahnya seperti pengendara mobil. Dia berlari kesana kemari bahkan berzig-zag ditengah jalan. Hebatnya dia membawa setir mobil sungguhan. Didapat darimana aku tidak tahu. Dengan setir mobilnya dia pancangkan dihadapan wajahnya. Wajahnya serius. Sambil meniru suara mobil yang menderu dia berlari kesana kemari bak seorang pembalap. Ini jadi pemandangan yang lucu bagi orang-orang disekitarnya. Sampai diperempatan jalan raya dimana banyak kendaraan berlalu lalang dia diam berdiri. Tiba-tiba perilakunya berubah lagi. Kali ini dia berlagak seperti polantas. Mengatur lalu lintas di jalan itu. orang-orang hanya tersenyum-senyum saja melihat tingkahnya. Kami menjulukinya dia “gila mobil”.
Lalu ada lagi yang “gila Inggris”. Laki-laki juga. Orang gila yang satu ini duduk sambil mengoceh kepada siapa saja yang lewat dengan bahasa Inggris. Aku jadi tergelak lucu dibuatnya. Karena ketika aku lewat diatas sepedaku. Ia mengoceh dengan bahasa Inggris yang tidak karuan bahkan terdengar tidak jelas. Meskipun kemampuan bahasa Inggrisku masih pas-pasan aku jadi merasa lucu dibuatnya. Sebab dia memang mengoceh sendirian.

Ada lagi orang gila lainnya yang tidak kalah gilanya. Kali ini perempuan. Pagi itu Dia memasuki kawasan perkampungan kami. Bertelanjang bulat. Orang-orang pun heboh. Lalu salah satu warga mengusulkan untuk memberinya pakaian. Akhirnya kami coba usul itu. ketika pakaian bekas itu diberikan untuk menutupi tubuhnya. Dia hanya melempar-lemparkannya saja ke langit. Lalu dia masuk ke kali kecil yang airnya hanya sebetis orang dewasa. Sambil berjongkok dia buang hajat dikali itu. tak lama akhirnya dia pergi.

Suatu hari kemudian. Dipagi hari ketika tirai teras rumahku dibuka. Ternyata orang gila itu tidur dibalai bambu rumahku. Kami kaget dan ketakutan.Aku coba untuk mengusirnya, “Hush..husss..pergi..pergi!!”. tapi dia tidak hiraukan. Yang aku takutkan dia buang hajat dibalai itu. tidak lama kemudian setelah diperiksa, benar saja. Apa yang kupikirkan terjadi. Dia telah buang hajat dibalai itu. Mungkin dia sudah menandai daerah kekuasaannya. Tapi hal itu menjijikan buat kami. Kontan saja, abangku menyuruhku untuk mengambil seember air. Bergegas aku kebelakang mengambil air. Setelah air seember diberikan ke abangku. Tanpa aba-aba lagi. Langsung air itu dibanjurkan ke orang gila yang tidur itu. dan dia pun langsung lari terbirit-birit. Kemudian yang membuatku malas, aku disuruh abangku membersihkan hajat orang gila itu. huh sial, dasar orang “gila hajat!”.

Dan mungkin, laki-laki misterius yang dinilai sebagai orang gila oleh temanku itu aku juluki sebagai orang “gila jalan” atau hanyalah seorang Pedestrian. Tapi saat itu aku mulai tidak melihatnya lagi.


***

Selang beberapa tahun kemudian. Aku telah duduk di bangku SMA. Sebagai seorang anak yang gemar bermain sepak bola. Aku bersama teman sekelasku bermain sepak bola dimanapun kami suka. Di halaman sekolah. Tanah lapang kosong perumahan kompleks Pondok Indah atau dimanapun. Beruntung kami memiliki tim sepak bola yang solid. Tim kami terus menang melawan kelas-kelas lain. Saat itu kami kelas satu. Hingga pada suatu hari ada tantangan bertanding dari kelas dua. Kami menyanggupinya. Dilapangan bola bintaro jaya Jakarta selatan kami bertemu. Hasilnya kami kalah. Kami akui Mereka memang lebih jago.

Pada saat pulang kerumah aku menumpang mobil kijang temanku. Aku duduk di kursi paling belakang yang menghadap ke samping. Ditengah perjalanan masih didaerah bintaro. Tiba-tiba, aku melihatnya lagi. Ya, si orang “gila jalan” atau si “pedestrian” itu lagi. Dia berjalan disisi dengan tenangnya. Masih dengan sosok yang sama seperti dulu ketika pertama kulihat. Aku dimobil dan dia berjalan kaki. Hendak menuju kemana aku tidak tahu. Sungguh aneh, kami bertemu lagi disitu meski tidak saling menyapa. Padahal daerah itu sangat jauh dari rumahku. Aku salut, memang dia seorang pedestrian sejati.

***

Dalam lipatan waktu aku telah beranjak dewasa. Tugasku kali ini adalah menempuh kuliah di sebuah universitas negeri di Jatinangor. Sebagai seorang anak perantau yang miskin. Uang menjadi berhala yang harus dijaga. Disayang-sayang meski tidak dibelai. Segala tindakan yang berhubungan dengan uang harus diperhitungan benar masak-masak. Maklum, kiriman uang dari ibuku sangat pas-pasan. Apalagi saat itu tahun 1998. krisis mendera negeri. Orang dibuat melotot dengan kenaikan harga-harga. Aku berada pada jaman yang sulit.

Kiriman uang ibu sangat aku jaga baik-baik. Aku sangat mengerti bahwa ibu bukanlah pegawai kantoran. Pekerjaannya hanyalah pedagang warung nasi dipinggir jalan yang pendapatannya tidak menentu. Jumlah tanggungannya pun banyak. Aku jadi semangkin sungkan meminta uang padanya. Makanya uang kiriman ibu yang jumlahnya tidak menentu aku peluk erat sampai jangka waktu yang tidak menentu. Pokoknya seratus ribu harus cukup dalam sebulan. Kalau pun bisa lebih lama bertahan itu sebuah prestasi.
Bahkan aku pernah hanya mendapat sangu lima puluh ribu saja. Aku sempat kecut, “Bagaimana aku hidup dengan uang segini?”. Tapi perasaan itu melesat hilang begitu saja tanpa kupikirkan lagi, “Yang penting sampai tujuan!” pikirku. Persoalan makan cuma persoalan gali lubang tutup lubang. Mumpung masih banyak teman, kalau kepepet aku masih bisa berhutang.

Nyatanya aku tidak sendirian. orang seperti aku juga banyak. Bahkan kami berteman akrab. Mungkin perasaan senasib meski tidak sepenanggungan. Ada yang masih aku ingat dari teman-temanku atau manusia perantauan macam aku dalam soal pola makan. Dalam hal makan, sepertinya kami mulai mengikuti pola hidup ular, “makan sekali yang banyak sesudah itu puasa”. Kami tidak mengenal pola makan tiga kali sehari. Bagiku itu sudah istimewa. Dua kali makan sehari saja sudah mujur.

Pagi hari aku ganjal perutku dengan secangkir teh dan gorengan. Siang hari makan sebanyak-banyaknya untuk mengulur waktu dari rasa lapar. Sebatang dua batang rokok cukup membantu mengurangi rasa lapar yang kadang menggaruk. Setelah magrib baru makan lagi.

Pada saat itu, jarang sekali aku membeli jajanan yang mahal. Dalam soal makanan, seluruhnya aku batasi harganya. Paling maksimal aku jajan hanya tiga ribu rupiah. Diatas itu aku anggap jajanan mahal dan aku hanya bisa menelan ludah melihatnya. Soal makan juga begitu. Budgetku untuk makan, paling mahal lima ribu. Seringnya aku mengeluarkan tiga ribu rupiah sekali makan. Itu sudah kelas ekonomi.

Beruntung aku kuliah didaerah yang masih ada tempat-tempat makan dengan harga ekonomis. Pujasera menjadi tempat langganan kami yang berduit cekak. Lauk pauknya memang sederhana serupa dengan tampilan tempatnya. Istimewanya ditempat ini, seluruh makanan disajikan secara prasmanan. Maka setiap orang yang makan bisa menyendok nasi sebanyak-banyaknya yang ia mampu. Semuanya dihitung dengan harga murah. Tempat ini jadi surga bagi kami yang berkantong pas-pasan.

Bahkan aku pernah melihat kawanku yang berdarah batak saat kami makan dipujasera. Ia bernama Timmy Parulian. Yang membuat aku terkejut, nasi yang ia sendok ke dalam piringnya penuh sekali dan tinggi. Tampilannya jadi seperti nasi tumpeng di jawa dengan dua buah telur diujung sebagai lauknya. “Dahsyat, dasar perut ular”, celotehku. Sementara Timmy cuma senyum-senyum saja.

Ternyata, ada tempat makan yang lebih ekonomis lagi dari Pujasera, kami mengenalnya warung Ibu Haji, tidak tahu nama sebenarnya dan tidak pernah mau bertanya nama pemiliknya. Kepentingan kami cuma makan. Tapi memang diakui warung Ibu Haji selalu ramai diserbu oleh mahasiswa. Bukan karena rasanya, bahkan (maaf), rasa sayurnya sangat hambar, dengan lauk pauk yang dibuat mini serta menggunakan beras yang berkualitas dua atau tiga, beras pera. Karena saking murahnya, disaat-saat kritis warung ini yang jadi penyelamat mahasiswa kelas ekonomi atau berkantong cekak.

Dalam kehidupan keseharian sebagai mahasiswa perantauan. Kegiatan yang kulakukan biasa saja. Kuliah, membaca, bergaul dengan teman dan berkegiatan di kampus untuk menyibukan diri. Akhir minggu bertugas mencuci gombal dan menyetrika.

Beruntung sekali nilai akademisku cukup lumayan sehingga aku selalu mendapat bantuan beasiswa PPA (sampai aku lupa kepanjangan singkatan ini). Aku mendapatkannya sejak pertama kali kuliah, ini juga berkat bantuan abangku yang sudah lebih lama kuliah disana. Dia bergaul baik dengan pengurus akademik, Pak Darsim. Pria separuh baya yang berdarah sunda. Perawakannya gemuk dan pendek, dengan rambut dan kumis yang seluruhnya memutih karena usia. Tapi yang kulihat energi hidupnya terus memancar. Semangatnya tinggi dan penuh senyum. Melalui tulisan ini, aku mengucapkan terima kasih telah diberi bantuan mendapatkan beasiswa. Dan hingga akhir kuliah beasiswa itu masih kudapatkan. Setiap bulan kudapatkan bantuan sebesar 75.000,- rupiah. Lumayan bisa membeli buku dan beberapa tambahan lainnya.

Karena memang terbiasa susah. Segala aktivitas dilakukan dengan senang hati, termasuk ongkos transport. Menggunakan transport di Jatinangor atau di Bandung terlalu banyak menghabiskan ongkos. Sebentar-sebentar naik angkot. Untuk mencapai satu tujuan harus rela naik beberapa angkot. Karena memang kota Bandung adalah kota kecil dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Jalan-jalan rayanya kecil dan berliku-liku. Maka alat transportasi utamanya adalah angkot dengan berbagai jurusan.

Untuk menekan pengeluaran transport ini. Kami lebih rela berjalan kaki. Anggap saja olahraga. Sering kali jalan kaki kami lakukan setiap hari. Di Jatinangor, dari kampus menuju gerbang berjalan kaki, dari gerbang menuju kosan berjalan kaki. Begitu juga dengan Pitra, teman kampusku yang tinggal di Bandung. Dia berlaku sebagai pedestrian selama kesehariannya. Selama melakukan aktivitas di Bandung kami seringkali berjalan kaki untuk menempuh suatu jarak. Di jalan Dago, Dipati Ukur, atau sampai ke Geger Kalong. Hingga suatu kali seniorku pernah terheran-heran padaku saat dia beberapa kali melihatku berjalan kaki dengan Pitra, atau dengan temanku yang lain. Dia diangkot dan aku berjalan kaki. Lalu suatu hari di tahun 2004 aku mengusulkan suatu ide kepada Pitra, “Pit, kalau nanti kita lulus kuliah, bagaimana kalau kita jalan kaki dari Jatinangor ke Bandung? Mungkin ini sebagai nazar kita bersama. Dan Pitra bilang, “Setuju!”.

Aku lulus di bulan Mei tahun 2004. Sementara Pitra belum juga lulus. Aku kembali ke Jakarta karena panggilan kerja. Sekitar Desember 2004, Pitra lulus juga dan aku masih bekerja di Jakarta. Tahun 2005 Pitra Bekerja di Jakarta tapi kami jarang bertemu. Menjelang akhir tahun 2006 Pitra mengundur diri dari pekerjaannya. Dia merasa tidak ada kemajuan dalam dirinya yang dia dapat dari pekerjaannya. Gaji yang didapat hanya habis untuk ongkos dan makan. Terakhir kulihat, tubuhnya terlihat lebih kurus. Dan awal tahun 2007 aku keluar dari pekerjaanku. Aku kehilangan status dan penghasilan meski aku memiliki banyak waktu luang untuk belajar. Suatu hari ketika aku ke Bandung dan bertemu Pitra, aku teringat dengan janji kami dulu.

Dua minggu kemudian. Jumat sore aku berangkat dari Jakarta ke Bandung untuk mewujudkan janji kami. Sebelumnya aku hubungi Pitra, Lewat pesawat telepon dia bilang, “Oke, aku siap!”, kukatakan, “Jumat malam aku sampai di Jatinagor, Sabtu kita mulai dari kampus menuju Bandung, bagaimana?”. “Setuju!” Jawabnya. Jumat malam aku tiba di Jatinangor. Aku bertemu Irfan teman kampusku juga. Kami saling bercerita tentang banyak hal. Hingga aku sampaikan niatku tentang jalan kaki ini. Nyatanya, dia bilang, “Ide yang bagus, aku ikut!”

Sabtu, setelah azan Zhuhur kami menuju kampus untuk mengenang kembali dengan apa yang telah terjadi dan melihat apa yang telah berubah. Di sana, kami bertemu Anisa, adik angkatan yang sedang mengabdi pada kampus, mang Udin, mantan satpam kampus merangkap penjual minuman yang berpoligami. Tumpah ruah perasaan kami luapkan disana. Setelah itu kami pun berpisah.

Tepat pukul dua siang kami putuskan untuk memulai perjalanan dari kampus. Aku, Pitra dan Irfan. Sepanjang perjalanan kami membahas tentang berbagai hal. Menyikapi perubahan kampus. Menyikapi idealisme masing-masing diri, ego, keinginan, angan-angan, dan asa. Menumpahkan kekecewaan dan mengevaluasi kekurangan. Hingga kami sepakat untuk lebih realistis atas keadaan yang sulit. Karena masih banyak cita-cita yang belum tercapai. Ditambah dengan keinginan-keinginan baru sebagai tujuan kebahagiaan.

Tak sadar kami sudah melewati jalan Ciseke, Cibeusi, Cileunyi, Jalan Raya Percobaan Cileunyi, Cinunuk, Cibiru yang merupakan batas kota dengan kabupaten, Cilengkrang, dan Ujung Berung. Sesuai dengan namanya, Jalan Ujung Berung memang jalan yang terjauh jarak rentangnya.

Banyak realitas yang lebih tampak disini. Kegiatan kehidupan sosial dan ekonomi berlangsung disini. Segala perilaku gerak manusia sederhana tampak nyata. Kalau kata pengamat budaya, aku sedang melihat realitas sesungguhnya. Coba kau bayangkan ketika kau berada di bis atau di kereta dan melihat keluar melalui kaca jendela. Realitas begitu berjarak dan kabur. Apalagi dengan kecepatan yang kendaraan yang tinggi. Yang tampak hanyalah garis-garis kabur dari wujud realitas. Kerbau, sawah-sawah, manusia, dan pohon-pohon. Semua Cuma kumpulan garis-garis. Kalaupun kita bisa menangkap gambarnya, kita tidak bisa menangkap maknanya, apalagi mengerti apa yang terjadi sesungguhnya. Karena kita terlalu berjarak dengan mereka. Segala penafsiran dan persepsi akan muncul dengan kenyataan yang sepenggal. Dan orang akan menduga-duga dengan hipotesanya sendiri-sendiri tanpa informasi yang cukup dikepala. Itulah hidup, serba misterius.

Kami lanjutkan perjalanan melewati penjara Suka Miskin tempat dimana Soekarno pernah dibui oleh Belanda dulu disini. Dipenjara karena pikirannya yang revolusioner melawan penjajahan Belanda. Karena dianggap mengancam kenyamanan imperialisme kolonial. Dia dibungkam dan diisolasi secara fisik di berbagai tempat. Tapi itu cuma sementara, karena semangatnya yang terus menyala-nyala terhadap kemerdekaan, dia terus kobarkan semangat untuk merdeka yang berpengaruh besar kepada rakyat saat itu. Kemerdekaan cuma soal waktu yang secara de facto diraih pada tanggal 17 Agustus 1945. Dia diangkat menjadi presiden pertama.

Hingga akhirnya kami sampai di Cicaheum Bandung pukul 8 malam. Perjalanan seluruhnya ditempuh selama 6 jam sejauh 21 Km. Sukses sebagai pedestrian!, berjalan kaki layaknya mengenal realitas sesungguhnya dan menapaki harapan yang bisa ditempuh semampu yang kita bisa.


Warung Buncit, 21 Februari 2007.
NB: Tulisan ini dipersembahkan untuk para pedestrian diseluruh dunia!
3 Komentar untuk "Cerpen: Pedestrian"

nulis lagi dong tentang romantika jatinangornya?tapi jangan lupa cantumin tentang teman di Bekasi (maksud gua yang ceweknya hahaha... )

wah, kalo gua tahu lo jalan kaki dari Jatinangor ke DU gua ikut tuh.. dulu gua pernah jalan dari Magelang ke Jogjakarta, mulai jam 6 pagi sampai jam 5 shubuh. hasilnya?lumayan kaki gua kapalan hehehe...

kapan mau jalan kaki lagi?hehehe...

Back To Top