Menurut teman kuliahku dulu yang bernama Pitra, pedestrian artinya pejalan kaki kota. Setelah kulihat akhir-akhir ini, menurut kamus bahasa, pedestrian adalah berupa kata benda yang artinya pejalan kaki. Aku lebih setuju dengan definisi ini bahwa pedestrian hanya berarti pejalan kaki saja tanpa perlu menambahkan dengan embel-embel keterangan tempat. Dikota, didesa, dikampung-kampung, digunung, dipesisir pantai, dipedalaman, dilembah-lembah, dihutan belantara, dimanapun dia tetaplah seorang pedestrian tanpa perlu lagi mengkotak-kotakan tempatnya.
Karena pedestrian sejati tidak akan memilih-memilih tempat dimana bumi sebagai pijakannya. Dimana pun ada jalan walau hanya jalan setapak akan dia lewati. Pun kalau terpaksa, ia akan membuat atau membuka jalan baru demi tujuannya, seperti yang dilakukan para pendaki gunung atau penjelajah hutan belantara. Karena bagiku seorang pedestrian adalah “Seorang Pembuka Harapan”. Seperti pepatah bijak dari negeri Cina tentang “Harapan”:
Aku jadi ingat tentang masa kecilku, waktu usiaku remaja saat duduk dibangku SMP. Dilingkungan rumahku, disebuah jalan umum. tempat biasa bermain bersama teman-teman kecil. Ada seorang asing yang sering kami lihat melewati jalan itu. laki-laki, berperawakan gemuk, dengan perut sedikit tambun, tidak terlalu tinggi untuk ukuran orang dewasa, berambut gondrong dengan panjang sepinggang. Mengenakan kaos, bercelana pendek, bersandal jepit dan berkulit sawo matang.
Kami tidak pernah tahu ataupun bertanya pada orang asing itu siapa namanya, berapa umurnya, asal usulnya, dan dengan tujuan apa. Kami yang kecil saat itu tidak berani. Kami hanya memperhatikan saja. Toh dia juga tidak mengganggu. Dia hanya menumpang lewat saja. Istimewanya, dia selalu menjadi perhatianku sejak kami sering melihatnya melewati jalan dilingkungan rumah dengan berjalan kaki tanpa bekal apapun dalam jalan dan waktu yang berbeda. Tidak pernah aku melihatnya menggunakan kendaraan sekalipun. bahkan meski hanya menumpang berbonceng sepeda ataupun motor kepada temannya. Tidak pernah sekalipun kulihat. Yang kulihat dia hanya berjalan kaki. Sendirian. Berjalan konstan tanpa tergesa-gesa apalagi tampak berlari.
Sejak itu, laki-laki misterius itu kami juluki sebagai orang gila atau orang yang tidak waras. Teman kecilku menghakimi begitu saja laki-laki misterius itu sebagai orang gila. Aku tanya,”kenapa?”. “Tidak tahu, habis dia seperti orang aneh”, jawabnya enteng. Kalau dipikir saat ini, tega-teganya teman kecilku dulu menghakimi laki-laki misterius itu sebagai “orang gila”. Padahal tidak pernah sekalipun dia berkomunikasi pada laki-laki misterius itu hingga dia bisa menilai apa layak laki-laki misterius itu disebut “gila”.
3 Komentar untuk "Cerpen: Pedestrian"
nulis lagi dong tentang romantika jatinangornya?tapi jangan lupa cantumin tentang teman di Bekasi (maksud gua yang ceweknya hahaha... )
wah, kalo gua tahu lo jalan kaki dari Jatinangor ke DU gua ikut tuh.. dulu gua pernah jalan dari Magelang ke Jogjakarta, mulai jam 6 pagi sampai jam 5 shubuh. hasilnya?lumayan kaki gua kapalan hehehe...
kapan mau jalan kaki lagi?hehehe...
lovely...story
www.be-samyono.com
dahsyat!!
salam salut dari saya :)